Belakangan ini, KDM mengadakan gerakan donasi Rp 1.000 per hari untuk ASN, pelajar, dan masyarakat umum menuai beragam reaksi.
Ada yang mendukung sebagai bentuk solidaritas sosial, namun tidak sedikit juga yang merasa keberatan karena dianggap membebani.Dari sisi kemampuan, mari kita lihat hal sederhana di sekitar kita.
Banyak orang tiap hari tanpa masalah membeli minuman seperti es teh seharga Rp 3.000. Jika hal itu bisa dilakukan dengan mudah, maka berkontribusi Rp 1.000 per hari sebagai donasi sebenarnya sangat mungkin dilakukan oleh sebagian besar masyarakat yang mampu.Namun, perlu diingat tidak semua orang dalam kondisi yang sama.
Ada yang benar-benar tidak mampu menyisihkan Rp 1.000 pun.
Oleh karena itu, gerakan ini harus dengan bijak mengedepankan prinsip sukarela, tanpa paksaan, dan memperhatikan kondisi ekonomi tiap individu.
Pemerintah dan penyelenggara program kiranya perlu memastikan bahwa gerakan sosial semacam ini tidak menjadi beban tambahan yang memberatkan masyarakat, khususnya mereka yang sudah berada di garis kemiskinan atau kesulitan ekonomi.
Solidaritas itu indah apabila muncul dari niat tulus dan kemampuan nyata, bukan dari paksaan yang justru menimbulkan keresahan.
Mari bersama-sama mencari solusi yang inklusif dan adil agar fungsi gotong royong dan kearifan lokal tetap terjaga tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat.
Artikel ini mengajak pembaca melihat gerakan donasi dari sudut kemampuan ekonomi nyata dan pentingnya prinsip sukarela dan inklusif dalam program sosial.
0 Comments